KOPERASI LEMKA
Silahkan Pesan Alat Dan Buku Kaligrafi Langsung Dari LEMKA

Senin, 08 November 2010

SENI ISLAM DALAM SOROTAN


Oleh: Iman Saiful Mu'minin


Sebelum membicarakan tentang wawasan seni Islam, seperti kaligrafi, musik, seni rupa, sastra, dan lainnya, jika dihubungkan dengan agama, ada baiknya terlebih dahulu kita hendak melihat secara umum adanya interaksi dan reaksi antara agama dengan kesenian. Sebab hal ini menyangkut langsung ekspresi seorang seniman muslim, yang tentu masih memiliki setumpuk pertanyaan dalam batinnya: apa sebenarnya hukum berkesenian yang berhubungan dengan Islam, dan apakah agama mendukung atau memasung kebebasan berekspresi dalam seni tersebut. Dalam sejarah tentang kesenian Islam, orang, terutama para ulama, sering beraneka ragam dalam memberikan interpretasi hukumnya. Bahkan ada pula sebagian orang yang beranggapan, bahwa seni dan kreativitas itu berada di atas segalanya; seni untuk seni, kenapa harus ada pemasungan kebebasan berekspresi.
Adalah buku The Culture Side of Islam, mengungkapkan sekilas cerita, seperti dikutip oleh Ali Audah (Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam, h. 10), bahwa Pers Inggris pernah mengadakan suatu diskusi yang intinya: andaikata ada patung Yunani yang sangat indah dan terkenal, dan itu hanya satu-satunya, tak dapat diganti oleh patung yang lain. Patung tersebut berada dalam sebuah kamar bersama-sama dengan seorang bayi mungil yang masih hidup. Kamar itu terbakar. Yang masih diselamatkan hanya satu dari dua: patung atau bayi. Mana yang harus diselamatkan? Dari para peserta yang banyak sekali itu, yang terdiri dari kaum intelektual dan orang-orang berkedudukan tinggi, memilih patung itulah yang harus diselamatkan, dan membiarkan si bayi di makan api. Argumen mereka: bayi-bayi itu lahir jutaan banyaknya setiap hari, sementara patung itu merupakan masterpiece sebuah karya seni Yunani kuno yang tak mungkin lagi ada gantinya.
Dengan gambaran singkat di atas, jelas bagi kita bagaimana sikap seorang muslim menghadapi kesenian. Hati nuraninya akan bicara sendiri sesuai dengan keimanannya. Oleh karena seni berkaitan dengan keindahan, ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Rasa indah terhadap sesuatu merupakan naluri atau fitrah manusia yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Dan hal ini mustahil bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengespresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya.
Bahkan Imam Ghazali sendiri dalam kitab Ihya Uumudin, menyatakan bahwa siapa saja yang tidak berkesan hatinya di musim berbunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.
Masalah keindahan (estetika) memang merupakan masalah selera dan intuisi. Setiap orang memiliki rasa keindahannya sendiri yang tidak dapat dipaksakan kepada orang lain atau dilarang, seperti halnya rasa cinta kepada sesuatu. Melainkan, bahwa Islam lahir pertama-tama bukan untuk membawa konsep kesenian, tapi terlebih tentang moral yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan agama. Pada dasarnya kreativitas itu tidak dapat dibatasi selain oleh hati nurani manusia. Dan hati nurani inilah yang disebut moral, atau dalam ajaran Islam disebut akhlak (etika). Ali Audah, seorang budayawan muslim, mengatakan bahwa istilah moral atau etika yang didasarkan pada ajaran filsafat, pada dasarnya berbeda dengan akhlak yang didasarkan pada ajaran agama. Yang pertama berpangkal pada otak dan alam pikiran, sementara yang kedua berpangkal pada hati nurani manusia. Perbandingan keduanya telah digambarkan di awal tulisan ini mengenai cerita sebuah patung dan seorang bayi mungil.
Dus, dalam lapangan seni Islam ini, kita boleh menampilkan (mengekspresikan) seni dan memilih objek. Kita boleh menggambarkan kenyataan hidup dalam masyarakat di mana kita berada. Kita boleh memoleskannya dengan apa aja, boleh berimajinasi, karena lapangan seni Islam adalah semua wujud. Namun semua itu dengan catatan: jangan sampai seni yang kita tampilkan bertentangan dengan fitrah atau pandangan Islam tentang wujud itu sendiri. Jangan sampai, misalnya, pemaparan tentang manusia hanya terbatas pada jasmaninya semata. Atau yang ditonjolkan hanya manusia dalam aspek debu tanahnya, tidak disertai dengan unsur ruh Ilahi yang menjadikannya sebagai manusia. Jika catatan ini direspon dengan baik, maka pada saat itu pula seni telah mengayunkan langka untuk berfungsi sebagai sarana dakwah (Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran)
Sebagai catatan akhir dalam tulisan ini, seni Islam selama bertujuan untuk kebaikan (ma'ruf) dan sejalan dengan pandangan Islam yang menyangkut wujud alam raya ini, tidak ada seorang pun melarangnya.


IBNU KHALDUN DAN KALIGRAFI ARAB (1)
Oleh: Iman Saiful Mu'minin

Saya baru saja membaca kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun. Kitab tersebut merupakan produk pemikirannya berupa kumulan kajian tentang kemasyarakatan, kenegaraan serta filsafat sejarah yang diberinya nama agak panjang, Kitab Al-'Ibar
wa
Diwan Al-Mubtada wa Al-Khabar fi Ayyam Al-Arab wa Al-Ajam wa Al-Barbar wa man 'Asharahum min Dzawi As-Sulthan Al-Akbar. Mungkin karena panjanngnya judul ini atau karena jilid pertamanya berjudul Muqaddimah, lalu orang menyebutnya Muqaddimah Ibnu Khaldun.
Buku ini diakui sebagai karya monumental dan cukup unggul dalam deretan karya para pemikir muslim dan Barat dalam bidang sosiologi dan filsafat sejarah. Untuk itu, Ibnu Khaldun dikenal sebagai Bapak Sosiologi dan Sejarawan Muslim. Selain kitab Muqadimah, Ibnu Khaldun juga menulis sejumlah kitab terkenal, yaitu At-Ta'rif bi Ibni Khaldun, sebuah autobiografinya catatan dari kitab sejarahnya.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang sosiologi dan politik tidak saja menjadi bahan kajian para pemikir dan cendekiawan muslim di Timur, tetapi di dunia Barat pun pemikiran tersebut masih senantiasa digulirkan dalam wacana percaturan sosial politik kontemporer. Hal ini tidaklah aneh, mengingat pemiriran dan sepak terjang Ibnu Khaldun diakui oleh para ulama sezaman dan sesudanya. Dan bahwa tulisan-tulisan yang ada dalam kitab karyanya, temasuk Muqaddimah, mengungkapkan problematika yang masih aktual. Di antaranya mengenai kaligrafi Arab (khat). Ibnu Khaldun memandang bahwa khat atau tulisan indah merupakan bagian dari keterampilan manusia yang dapat dibedakannya dari hewan.
Oleh karena ia bagian dari keterampilan, maka untuk memperolehnya adalah harus ditunjang oleh pembelajaran (ta'alum), adanya sarana perkumpulan atau organisasi (semacam sanggar), kemajuan dan harus berdomisii di kota. Sebab kota, menurutnya, terdapat sejumlah sarana keterampilan lain yang menunjang berkembang pesatnya kaligafi Arab, seperti ketersediaan peralatan yang komplit dan modern. Maka, Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa kebanyakan orang pelosok, pedalaman atau kampung itu tidak dapat menulis dan membaca dengan baik. Mereka belajar menulis menggunakan peralatan seadanya, dan hal ini yang menjadikan mereka tertinggal dari teman-temannya yang berdomisili di kota. Ibnu Khaldun juga berkesimpulan bahwa pengajaran kaligrafi Arab yang berada di kota-kota besar yang berkembang pesat sejumlah sarananya, itu lebih mudah diterapkan metode dalam pembelajarannya. Beliau mencontohkan negara Mesir, terutama ibu kotanya, Kairo. Di sana para pengajarnya berkompetensi dan mumpuni dalam bidang kaidah dan hukum kaligrafi.
Ternyata benar, di kota-kota besar lair sejumlah kaligrafer terkenal sekelas Abu Hasan Ali bin Hilal, yang dikenal dengan nama Ibnu Bawwab, kelahiran Baghdad, dan Ibnu Muqlah, seorang menteri yang tinggal di Baghdad pula. Dan sejumlah kaligrafer lain yang lahir dan tinggal di kota Kufah, Basrah, Kairo, Istamul, Andalusia, sehingga nama jenis khat kadang diambil dari nama kota tempat mula lahirnya.
Dus, ide dan pemikran Ibnu Khaldun di atas tidaklah melesat. Kaligrafi Arab yang berkembang di Indonesia pun titik pusatnya berada di jantngnya, Jakarta. Maka para kaligrafer yang berada di luar kota pun kini mau tidak mau harus melirik ke pusatnya, Jakarta. Semua itu logis, bukan? Wallahu a'lam.












IBNU KHALDUN DAN KALIGRAFI ARAB (2)
Oleh: Iman Saiful Mu'minin

Membaca kitab Muqaddimah-nya Ibnu Khaldun ini serasa saya sedang menjelajahi dunia sejarah dalam kaitannya dengan kemasyarakatan, kenegaraan, dan kependidikan beserta metode-metodenya yang dipaparkannya secara teliti dan mudah dipahami
Gagasan pemikirannya dalam kaitannya dengan metode pembelajaran, misalnya, Ibnu Khaldun memaparkan tips-tips yang harus dicapai oleh para pelajar agar mereka memperoleh ilmu pengetahuan yang luas dan senantiasa malakah (melekat) dalam jiwa mereka. Di antaranya adalah menggunakan metode tadaruj, yaitu suatu metode pemerolehan pengetahuan atau pemahaman yang dilakukan secara bertahap, seperti pengulangan materi pelajaran sebanyak tiga kali.
Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menyesalkan kebanyakan guru atau pembimbing pelajar tidak mengetahui metode pembelajaran serta cara perolehannya. Dengan secara serampangan mereka menyampaikan materi kepada murid-muridnya dengan uraian-uraian yang enjelimet serta membebani mereka dengan sejumlah materi tambahan lainnya. Ini berbahaya. Akibatnya, jika hal ini dilakukan, maka murid-murid akan cepat merasa bosan dan malas belajar. Untuk itu, menurutnya, penting sekali seorang pelajar mengetahui hal ini serta memahami materi sesuai dngan kemampuannya, kemudian mengulangi kembali materi pelajaran yang tela diperolehnya sampai malakah.
Tentunya gagasan yang telah dipaparkan Ibnu Khaldun di atas konteksnya mencakup pemerolehan pengetahuan secara umum. Dan metode ini bisa saja diaplikasikan pada cara penulisan kaligrafi Arab (khat). Seorang pelajar atau santri di samping harus mengetaui teori penulisan, juga mereka dituntut menerapkannya melalui metode tadaruj itu. Sebelum merasa yakin bahwa hurufnya itu indah, baik dan benar-dan ini tentunya setelah melalui proses latihan dan perenungan yang panjang serta pengoreksian dari guru atau pembimbingnya-ia tidak boleh beranjak ke penulisan huruf lain.
Ibnu Khaldun juga memaparkan dengan jelas, bagaimana seorang murid agar dapat menambah pengetahuan dan faedah, ia harus sering mendatangi sejumlah guru atau pembimbinbg belajar. Artinya, bertambahnya pengetahuan seorang murid ditunjang oleh seringnya berinteraksi dengan sejumah guru secara langsung (mubasyarah). Maksud itu tiada lain agar ada pihak yang bisa mengoreksi kesalahan atau kekeliruan suatu pemahaman atau pengetauan seorang murid. Dan juga, masih menurut Ibnu Khaldun, karena setiap guru atau pembimbing belajar kadang memiliki metode pembelajaannya masing-masing.
Ibnu Khaldun memberkan contoh perbandingan metode pembelajaran antara negara-negara yang berada di kawasan Maghrib (Barat) dengan negara Masyriq (Timur). Di Barat, menurutnya, para guru memberikan alokasi masa belajar bagi para pelajar ditentukan selama enam belas tahun, sementara di Tunisia (Timur) hanya membutuhkan waktu lima tahun. Lama belajar tersebut disebabkan para pelajar Barat pada masanya sangat sulit mernerima materi dan buruknya metode pembelajaran yang disampaikan para pengajarnya. Peradaban di Timur maju pesat, terutama bidang pranata sosial. Maka hal ini sangat menunjang dalam kelancaran proses kegiatan belajat mengajar (KBM)
Lancarnya kegiatan belajar mengajar dengan ditunjang oleh kedekatan interaksi antara guru dan murid serta latihan yang intensif dan konsisten memungkinkan tercapainya keberhasilan yang gemilang. Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah sudah siapkah kita melaksanakan semua itu? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Wallahu a'lam










MENAKAR IMAJINASI KREATIF SENIMAN
Oleh : Iman Saiful Mu'minin

Pesan-pesan karya seni para seniman sering tidak atau bakan sulit terungkapkan oleh aspek dan dimensi indrawi para pecinta dan penikmatnya. Hal demikian mengingat keterbatasan daya tangkap mereka terhadap esensi visual yang ada pada medianya. Pesan karya seni tersebut merupakan ungkapan jiwa yang terpendam dalam alam fitrah ruhani seseorang.
Dalam kitab Kimia as-Sa'adah, Imam Ghazali mengungkapkan bahwa pesan-pesan keruhanian yang luhur dan dalam dapat menyentuh dan menggetarkan apabila melalui karya seni. Hati manusia, menurutnya, diciptakan oleh Tuhan bagaikan batu api membara yang mudah berpijar dan berkibar tersentuh oleh keindahan yang timbul dari getaran karya seni seperti musik, puisi, dan lukisan. Keindahan yang timbul dari getaran karya seni dapat menyalakan cinta yang tidur dalam hati, baik cinta yang bersifat indrawi maupun ruhani. Ini tiada lain merupakan imajinasi kreatif para seniman.
Bahkan lebih ekstrem lagi, ulama lain seperti Ibnu Sina, al-Jurjani, dan Ibnu Arabi secara terang-terangan menyatakan bahwa asal usul karya seni adalah imajinasi kreatif seniman. Imajinasi kreatif dalam diri manusia merupakan wakil alam misal, dan alam misal berfungsi menjadi perantara antara alam kemanusiaan dan alam ketuhanan atau transendental. Menurut mereka, hasil imajinasi kreatif manusia yang paling sempurna dan memesona adalah karya seni.
Berkenaan dengan hal ini pula, pada abad 16 muncul seorang ulama yang berani mengeluarkan fatwa yang sangat diharapkan oleh para seniman. Dia adalah Qadhi Ahmad, yang juga dikenal sebagai ahli kaligrafi Arab dan penyair, di samping pecinta seni lukis. Fatwanya yang terkenal itu diabadikan dalam sebuah puisi indah berikut:
Tuhan menciptakan dua jenis kalam
Yang satu dari tetumbuhan memukau jiwa
Dan menjelma batang tebu bergula
Dari tunasnya memutik seni khat memesona
Yang lainnya berasal dari hewan
Yang kilauan sinarnya bagai permata
Memancar dari sumber air kehidupan
Yaitu kuas untuk membuat lukisan
Kalam pertama berkaitan dengan kaligrafi dan seni hias tetumbuhan, yang digunakan untuk menuliskan wahtu Ilahi, hikmah dan ilmu pengetahuan. Adapun kalam yang kedua berkenaan dengan lukisan miniatur yang menyajikan gambar makhluk hidup. Maksud kalam kedua ini adalah kuas yang terbuat dari bulu kucing yang diikat dengan benang sutera pada tangkai bulu ayam dan digunakan untuk lukisan dengan sapuan warna yang indah.
Dua jenis kalam tersebut merupakan media efektif untuk menumpahkan imajinasi kreatif para seniman, tak terkecuali seniman muslim yang memikul tanggung jawab moral dalam merealisasikan dakwah Islam, baik dakwah bilkitabah maupun dakwah bilquas. Maka takaran yang ditawarkan Islam kepada kita sebagai seniman muslim adalah, seberapa nilai bayaran kita yang akan disumbangkan untuk dakwah Islam itu sendiri? Wallahu a'lam.











HERMENEUTIKA
Oleh: Iman Saiful Mu'minin
 
Pernah terjadi suatu perdebatan berat dalam Muktamar NU di Asrama Haji Donohudan Jawa Timur. Perdebatan tersebut berlangsung dalam ruangan khusus Bahsul Masail, suatu tradisi ilmiah yang membahas persoalan-persoalan keagamaan yang digadang oleh para utusan ulama, kiai ataupun santri dari masing-masing pesantren seluruh Indonesia secara temporer. Dalam Bahsul
Masail kali ini perdebatan menyoal kajian hermeneutika, apakah bisa dimasukkan ke dalam materi kurikulum pesantren ataupun sebatas wacana yang diharapkan dapat membuka wawasan tambahan bagi santri dalam bidang ulumul Quran.
Seorang santri Pesantern Lirboyo bernama Muhib Aman Ali mempertanyakan kajian hermeneutika kepada pimpinan sidang yang di ketuai Dr. Said Aqil dan Dr. Machasin, dosen sastra Arab UIN Yogyakarta. Apakah layak kajian hermeneutika dimasukkan ke dalam kurikulum pesantren, padahal "barang impor" itu dianggap sebagai produk pemikiran para pakar Filsafat Barat, dan pantaskah pula hermeneutika ini dapat menggantikan metode tafsir tradisional yang sudah mapan dan menjadi standar baku dalam mengkaji al-Quran secara komprehensif? Tentu dalam kajian hermeneutika sendiri, sebagian peserta Muktamar NU tersebut tidak memahami betul apa itu hermeneutika.
Istilah dan Sejarah Kelahiran Hermeneutika
Sebelum jauh membahas tentang hermeneutika, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apa itu hermeneutika. Secara etimologi, istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani kuno: ta hermeneutika, yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kata hermeneutika juga satu derivasi dengan kata "Hermes'. Konon dalam tradisi kitab suci, Hermes dianggap sebagai juru tafsir Tuhan. Sosok Hermes ini oleh Sayyed Hossen Nasr diasosiasikan sebagai Nabi Idris. Maka pengertian hermeneutika adalah suatu ilmu, metode, dan teknik memahami suatu pesan atau teks.
Adalah Friedrich Schleiermacher, seorang teolog Protestan, yang pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik interpretasi kitab suci menjadi hermeneutika umum yang mengkaji prasyarat atau kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya suatu pemahaman atau penafsiran yang betul dari sebuah teks. Bagi dia, semua teks harus diperlakukan sama, tidak ada yang perlu diistimewakan, tak peduli apakah itu kitab suci atau teks hasil karangan manusia biasa.
Kemudian, disusul oleh pemikir Jerman, Dilthey yang menggagas historisitas teks, bahwa seorang pembaca teks, harus bersikap kritis terhadap teks beserta konteks sejarahnya. Pemahaman kita akan suatu teks, menurutnya, ditentukan oleh kemampuan kita mengalami kembali dan menghayati isi teks tersebut. Pemahaman ini satu pendapat dengan Gadamer, filosof kelahiran Jerman, yang menyatakan bahwa setiap memahami sebuah teks, baik itu kitab suci ataupun teks lainnya, masih mengandung nilai relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak.
Lebih ektrem lagi adalah pendapat Jurgen Habermas. Dia berpendapat bahwa hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif tersembunyi dan kepentingan terselubung yang melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan manipulasi, dominasi, dan propaganda di balik bahasa sebuah teks, segala sesuatu yang mungkin telah mendistorsi pesan atau makna secara sistematis.
Hermeneutika Al-Quran?
Metode hermeneutika ini sebenarnya sesuatu yang lumrah dalam kajian filsafat, sejarah, dan filologi, sebuah kajian ilmiah yang meneliti tentang kajian naskah kuno. Melainkan, bahwa kajian hermeneutika ini menjadi bermasalah ketika ia dihadapkan kepada teks al-Quran, bahkan diusung untuk mencabut substitusi tafsir yang telah diciptakan dan dijabarkan secara komprehensif oleh para ulama terdahulu. Hal ini, karena al-Quran telah dimaklumi adalah wahyu Tuhan yang kata dan makna seluruhnya berasal dari Allah Swt. Ketika al-Quran sudah dianggap sebagai kalam Ilahi, apakah bisa para penafsir memasuki dan menyamai alam pikiran pembuat teks, yang dalam hal ini adalah Tuhan? Atau mungkinkah secara etika si penafsir dapat bersikap kritis atau menjegal maksud dan kehendak Tuhan?
Maka dari kajian di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Teks yang semula dianggap suci seperti kitab al-Quran dan kitab-kitab agama samawi lainnya, kemudian diragukan keasliannya. Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai 'produk sejarah dan budaya' manusia. Dalam bingkai hermeneutika, al-Quran jelas tidak mungkin dipandang sebagai wahyu Tuhan, tetapi ia merupakan muntij hadhari (produk budaya) atau setidaknya wahyu Tuhan yang dipengaruhi oleh budaya Arab, yakni budaya di mana wahyu diturunkan. Padahal maksud hermeneutika adalah sebenarnya ditujukan bukan untuk kajian keislaman. Ia adalah produk teologi Protestan, yang dipakai untuk mengkaji Bibel oleh Schleiermacher, dan Gadamer untuk kajian kesusasteraan Jerman maupun Klasik. Yang dimaksud teks oleh mereka adalah karya tulis buatan manusia. Hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut paham relativisme epistemologi. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif benar dan salah.
Maka tidaklah aneh, ketika kita banyak menjumpai para intelektual Islam yang berpendapat nyeleneh dalam hal ini. Mereka menghendaki al-Quran ditafsirkan melalui kajian hermeneutika, baik kata, makna maupun pembuat teks itu sendiri. Lihat saja misalnya pengusung hermeneutika di dunia Arab, Nasr Hamid Abu Zayd. Dia menempatkan posisi Nabi Muhammad Saw sebagai pengarang al-Quran dan menyebut al-Quran sebagai produk budaya. Maka sebenarnya dia telah melepaskan al-Quran dari posisinya sebagai kalam Allah yang suci. Mengenai hermeneutika ini, saya ambil contoh pendapat yang nyeleneh dari seorang pemikir muda Islam (alumni sebuah pesantren di jawa Tengah):
"Dalam konteks ini, anggapan bahwa al-Quran itu suci adalah keliru. Kesuciaan yang dilekatkan pada al-Quran adalah kesucian palsu. Tidak ada teks yang suci. Setiap teks memiliki keterbatasan sejarah. Karena itu, setiap generasi selalu muncul agen-agen sejarah yang merestorasi sebuah teks. Musa, Jesus, Muhammad, Sidharta, Lao Tze, Konfusius, Zarasthutra, Marten Luther dan lainnya adalah sebagian contoh dari agen-agen sejarah yang melakukan restorasi teks"(Sumanto Qurtuby, Lobang Hitam Agama, h. 67)
Memahami pendapat Sumanto Qurtubi di atas, al-Quran telah dicap sebagai kitab agama yang tidak mengandung nilai kesuciannya, sebagaimana kitab-kitab atau teks-teks tulisan tangan manusia.
Maksud hati mengusung pemahaman yang mereka anggap orsinil dan modern tapi apa daya tangan mereka sendiri terjepit dalam himpitan budaya latah, sehingga pemikiran mereka ditentang oleh maenstream ulama dan intelektual Muslim. Bahkan, dalam Muktamar NU di asrama haji itu kajian hermeneutika yang akan menggantikan metode tafsir tradisional yang telah mapan, disepakati tidak boleh dimasukkan ke dalam kurikulum pesantren. Alhamdulillah
Kepada Yth.
Pemimpin Redaksi ALKISAH
Di
Tempat

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Segala puji milik Allah semata. Beriring salawat dan salam semoga mengucur deras ke haribaan baginda kita, Nabi Muhhamad Saw, kepada keluarga, dan umat Islam pada umumnya.
Seiring tibanya buku yang ada di hadapan bapak/ibu, saya mengucapkan salam silaturahmi untuk segenap tim redaksi majalah ALKISAH yang dibanggakan umat Islam. Sedari awal saya berkeinginan sekali mengirimkan buku ini tiada lain untuk bersilaturahmi dan memperkenalkan isi buku kepada staf redaksi, baik untuk dijadikan resensi buku dalam majalah ALKISAH ataupun sekedar menambah daftar referensi di perpustakaan ALKISAH. Semoga isi buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi pembaca ALKISAH. Syukron katsiran.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.



Iman Saiful Mu'minin, S.Pd.I
Staf Pengajar di Pesantren Kaligrafi Alquran
Jl. Bhineka Karya No 53 Karamat Gunung Puyuh
Sukabumi Jawa Barat 43122 Hp

maaf pemesanan sudah lama pindah kewww.tokolemka.com 0823-000-333-11, 0856-000-333-11,





Kepada Yth.
Pemimpin Redaksi ALKISAH
Jl. Pramuka Raya No 410 Jakarta 13120
Tlp. (021) 8562257


Iman Saiful Mu'minin, S.Pd.I
The Lemka Quranic Calligraphy Boarding School
Jl. Bhineka Karya No 53 Karamat Gunung Puyuh
Sukabumi Jawa Barat 43122

0 komentar:

Posting Komentar

KOPERASI LEMKA
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More